Kendari, Terkininesia.com-PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak perusahaan Harita Group kembali melakukan penyerobotan lahan milik La Dani dan Sahria warga penolak tambang di Roko-Roko Raya, Konawe Kepulauan (Konkep), Sulawesi Tenggara (Sultra) pada Kamis, (3/3/2022).
Penyerobotan ini bukan yang pertama, melainkan telah lima kali dilakukan. Pertama, Selasa 9 Juli 2019, sekitar Pukul 11.00 WITA di lahan milik Ibu Marwah; kedua, Selasa 16 Juli 2019, sekitar Pukul 15.00 WITA di lahan milik Bapak Idris; ketiga, Kamis 22 Agustus 2019 di lahan milik Pak Amin, Bu Wa Ana, dan Pak Labaa (Alm); keempat, pada Selasa 1 Maret 2022 di lahan milik Pak La Dani dan Bu Sahria.
Penyerobotan berulang ini sebagai bentuk upaya paksa PT GKP dalam membangun jalan tambang menuju lahan yang sudah dibebaskan dan konsesi tambang. Akibatnya, tanaman perkebunan produktif warga rusak parah, sementara warga yang melawan diintimidasi dan dikriminalisasi hingga mendekam di sel tahanan dan di penjara.
Dalam video yang beredar pada Kamis (3/3/2022), warga yang didominasi petani perempuan terus mempertahankan tanah miliknya dengan menghadang dan berbaring di depan excavator perusahaan. Hingga melakukan aksi buka baju justru diperhadapkan dengan aparat keamanan bersenjata lengkap yang represif, juga mendapat ancaman akan ditangkap karena dianggap menghalang-halangi aktivitas perusahaan tambang.
Polisi, dengan dalih laporan dari pihak perusahaan, justru menyasar warga terlapor yang memiliki lahan di Roko-Roko Raya. Pada 24 Januari 2022 kemarin, misalnya, polisi menangkap tiga warga penolak tambang di Roko-Roko Raya, masing-masing atas nama Hurlan, dan Hastoma, dan La Dani. Pasca ditangkap dan ditahan di Polda Sultra, perusahaan melakukan penyerobotan di lahan La Dani pada Selasa, 1 Maret dan Kamis, 3 Maret hari ini.
Berbagai pihak mulai mengeluarkan sikap dengan mengecam perbuatan Hartita Group tersebut.
Ketua DPD Pospera sultra, Hartono menyatakan sikap bahwa Harita Group, apapun dalihnya sebagai group usaha besar, sangat tak pantas untuk terus menggunakan cara-cara kekerasan serta merampas tanah dan hak asasi warga.
Tak ada satupun fakta historikal, di era modern ini, sebuah usaha dapat berjalan baik dengan pola pendekatan kekerasan tersebut. Menurutnya, cara-cara primitif Harita Grup ini, pantas untuk dikecam keras dan dituntut pertanggung jawaban hukum.
” Saya berharap kawan-kawan Tim Pembela dapat serius memproses laporan tindak pidana ini, utamanya keberadaan aparat (POLDA SULTRA & KOREM 143 Haluoleo) di lokasi yang diduga cenderung melindungi pihak perusahaan bila dilihat dari video yang tersebar di medsos,” ucapnya.
Hartono juga mengatakan, penggunaan kekuatan alat keamanan negara sangat berpotensi menimbulkan pelanggaran-pelanggaran HAM seperti perlakuan intimidatif, tindakan kriminalisasi, menimbulkan rasa takut dan trauma berlebih, serta perlakuan tidak manusiawi lainnya.
Penyerobotan berulang tanpa ada tindakan hukum apapun menunjukkan betapa aparat kepolisian dan TNI cenderung menjadi centeng korporasi tambang, dari pada mengayomi dan melindungi rakyat itu sendiri.
Demikian juga pemerintah pusat dan daerah, alih-alih menindak tegas tindak kejahatan PT GKP, justru turut memfasilitasi, bahkan ada upaya pembiaran sehingga warga berjuang sendirian menyelamatkan tanah-ruang hidupnya.
Hal ini terlihat dari langkah Pemkab Konkep yang telah meneken MOU (memorandum of understanding) dengan PT GKP ihwal komitmen investasi di Pulau Wawonii pada Kamis, 30 September 2021. MoU ini merupakan tindak lanjut pasca Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Konawe Kepulauan disahkan 2021 lalu, dimana sudah ada alokasi ruang untuk investasi pertambangan di pulau kecil itu.
Tak berhenti di situ, Pemkab Konkep melalui Wakil Bupati bahkan ikut berupaya bernegosiasi dengan warga yang menolak, dengan tujuan perusahaan diberi ruang untuk masuk dan mulai menambang.
Untuk itu Pospera Sultra menuntut Mendesak Menteri ESDM untuk segera hentikan aktivitas PT GKP, evaluasi segera, dan cabut IUP yang telah diterbit(**)
Editor (Sultan)



